top of page

Mengenal Lebih dalam tentang "Sakit Maag" atau Dispepsia


Gangguan kesehatan berupa nyeri di bagian ulu hati atau perut bagian atas merupakan kasus yang cukup banyak terjadi di masyarakat. Kebanyakan orang yang mengalaminya akan menyebutkan sebuah istilah, yaitu sakit maag. Tidak banyak yang mengetahui bahwa dalam dunia medis tidak dikenal istilah sakit maag, karena maag sendiri merupakan bahasa serapan yang berarti lambung. Istilah medis yang tepat untuk menggambarkan gangguan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas adalah dispepsia. Dispepsia atau indigestion dapat terjadi pada siapa saja dari berbagai kelompok usia, dan berpotensi memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tulisan ini akan membahas mengenai dispepsia secara umum berikut rekomendasi terkini untuk penanganan dispepsia.


Apa itu dispepsia?

Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan oleh American College of Gastroenterology (ACG) dan Canadian Association of Gastroenterology (CAG), dispepsia didefinisikan sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan adanya nyeri epigastric (area ulu hati, tepat di bawah rusuk, atau perut bagian atas) yang intens dan berlangsung selama setidaknya 1 bulan. Kondisi ini dapat berhubungan dengan berbagai keluhan saluran cerna bagian atas lain yang mungkin digambarkan oleh pasien, seperti sensasi perut penuh atau mudah kenyang (epigastric fullness), mual, muntah, maupun sensasi seperti terbakar di ulu hati (heartburn).

Berdasarkan definisi ini, tampak bahwa dispepsia bukanlah suatu penyakit yang berdiri sendiri, melainkan menggambarkan suatu kondisi yang bisa jadi dipicu oleh adanya penyebab lain. Apabila pemeriksaan telah dilakukan seperti dengan endoskopi maupun tes lainnya, dan tidak menemukan penyebab patologis organik yang menjelaskan keluhan yang dialami pasien, maka kondisi tersebut dapat disebut sebagai dispepsia fungsional. Penyebab patologis organik yang diketahui berhubungan dengan terjadinya dispepsia antara lain peptic ulcer disease, gastroesophageal reflux disease (GERD), gastric/esophageal cancer, gangguan sistem pankreas atau empedu, intoleransi pada makanan ataupun obat tertentu, serta penyakit infeksi dan sistemik lainnya.


Mengenal alarm symptoms pada dispepsia

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, secara umum dispepsia dapat dibedakan menjadi dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Sebagian besar kasus dispepsia yang terjadi pada masyarakat luas merupakan dispepsia fungsional, yakni dispepsia yang tidak dilatarbelakangi kelainan organik, metabolik, ataupun sistemik yang dapat menjelaskan gejala yang dialami penderitanya. Walaupun demikian, dispepsia juga dapat disebabkan oleh kelainan organik yang mendasari kondisi tersebut (dispepsia organik). Penegakkan diagnosis dispepsia organik ini menjadi sebuah tantangan tersendiri mengingat kemungkinan etiologi yang bervariasi dan sulit dibedakan hanya berdasarkan gejala. Salah satu cara mendeteksi kemungkinan adanya penyebab medis yang lebih serius pada pasien dispepsia adalah dengan evaluasi adanya alarm symptoms pada pasien dispepsia. Yang termasuk ke dalam alarm symptoms antara lain: penurunan berat badan, anemia, disfagia, melena, muntah yang persisten, anoreksia, dan massa abdomen.


Evaluasi alarm symptoms ini tergolong penting untuk dilakukan pada pasien dispepsia, terutama yang berusia lanjut (≥60 tahun), mengingat angka kejadian keganasan saluran cerna bagian atas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan populasi berusia muda. ACG dan CAG merekomendasikan tindakan endoskopi apabila memungkinkan, pada pasien dispepsia yang berusia ≥60 tahun dengan harapan dapat membantu mendeteksi atau menyingkirkan kemungkinan neoplasia. Sementara itu, mengingat kejadian keganasan saluran cerna bagian atas yang relatif rendah pada populasi muda, ACG dan CAG merekomendasikan dilakukannya tes noninvasif untuk memeriksa adanya infeksi H. pylori pada pasien dispepsia yang berusia di bawah 60 tahun.


Tata laksana dispepsia

Tata laksana dispepsia akan ditentukan berdasarkan jenis dispepsia, temuan penyebab, dan tingkat keparahan yang dialami oleh pasien. Berdasarkan guidelines dari ACG dan CAG, terapi empiris dengan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) seperti esomeprazole, omeprazole, pantoprazole, lansoprazole, dsb. direkomendasikan pada pasien dispepsia yang berusia di bawah 60 tahun dengan hasil pemeriksaan H. pylori negatif atau mengalami gejala sekalipun terapi eradikasi H. pylori telah dituntaskan. PPI merupakan obat yang bekerja dengan menghambat secara irreversible kerja enzim H+/K+-ATPase yang berperan dalam tahap final sekresi asam lambung, sehingga diharapkan mampu menekan produksi asam lambung dengan efektif. Kontrol produksi asam lambung diharapkan mampu meringankan gejala dispepsia yang dialami oleh pasien dispepsia. Selain obat golongan PPI, golongan obat lain yang dapat terlibat dalam tata laksana dispepsia antara lain: prokinetic, tricyclic antidepressant, dan antibiotik (apabila pemeriksaan H. pylori positif), dan sebagainya, sesuai dengan kondisi setiap individu dan pertimbangan klinis dari dokter. Pada kasus dispepsia yang relatif ringan dan tidak persisten, pasien dapat melakukan swamedikasi menggunakan obat golongan bebas terbatas seperti golongan antasida yang bekerja dengan membantu menetralkan asam lambung.


Selain dengan terapi menggunakan obat-obatan, tata laksana dispepsia juga dapat didukung dengan pendekatan nonfarmakologis yang berpusat pada modifikasi gaya hidup, antara lain:

  • Berhenti merokok

  • Menghindari jenis makanan yang dapat memicu timbulnya gejala (contoh: makanan berlemak, pedas, asam, dsb. yang mungkin dapat berbeda antar satu individu dengan individu lainnya)

  • Makan dalam porsi kecil namun dengan interval yang lebih pendek

  • Tidak langsung tidur setelah makan (memberi jeda 2-3 jam) dan mengatur posisi tidur untuk membantu pergerakan saluran cerna lebih mudah

  • Menjaga berat badan ideal

  • Mengelola stres dengan baik

  • Tidak sembarangan mengonsumsi obat, contoh: obat nyeri, dsb.


Referensi:

1.Moayyedi PM, et al. ACG and CAG Clinical Guideline: Management of Dyspepsia. Am J Gastroenterol 2017; 112:988–1013.

2.Oustamanolakis P and Tack J. Dyspepsia: organic versus functional. J Clin Gastroenterol. 2012;46(3):175-90.

3.Wei ZC, et al. Predictive value of alarm symptoms in patients with Rome IV dyspepsia: A crosssectional study. World J Gastroenterol 2020;26(30):4523-36.

4.AAFP. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It. Am Fam Physician. 2010;82(12):1459-60.


MPL/OGB/010/III/2022

187 tampilan
bottom of page